Wawancara Tes Psikologi (Psikotes)

Wawancara Tes Psikologi (Psikotes) 

Foto oleh Sora Shimazaki dari Pexels

Berbohong selama wawancara tidak hanya tidak berguna, tetapi juga bisa membuat Anda didiskualifikasi. Lebih bijak jika pertanyaan dijawab apa adanya, spontan, langsung pada intinya, tidak mengada-ada, tidak menggurui, dan sopan. "Meskipun hanya wawancaramu, kenapa gagal. Dulu seperti itu, selalu kandas pada tahap ini."

Kami mendengar banyak keluhan seperti itu dari mereka yang tidak lulus wawancara psikologis untuk melamar pekerjaan. Kenyataan yang mencekik, terutama karena sebagian besar tahapan wawancara berada di akhir proses seleksi. Lulus di sini berarti calon diterima di pekerjaan baru.

Wawancara psikologis memiliki banyak arti. Ada beberapa versi, salah satunya menurut Bingham dan Moore, wawancara adalah “…percakapan yang diarahkan untuk mendefinisikan suatu tujuan selain kepuasan dalam percakapan itu sendiri”. Sementara itu, menurut Weiner, "Istilah wawancara memiliki sejarah penggunaan selama berabad-abad. Biasanya digunakan untuk menunjuk pertemuan tatap muka individu untuk konferensi formal di beberapa titik."

Dari kedua definisi tersebut ditemukan bahwa wawancara merupakan pertemuan tatap muka, menggunakan metode lisan, dan memiliki tujuan tertentu.

Jangan bayangkan wawancara sama dengan interogasi karena tujuan utamanya memang “berbeda”, meski agak mirip dalam hal menggali dan mencocokkan data. Yang pasti, metode yang digunakan dalam kedua kasus tersebut berbeda. Interogasi lebih menekankan pada pencapaian tujuan, dengan berbagai cara dan konsekuensi, baik secara halus maupun kasar. Posisi interogator lebih tinggi dan lebih bebas daripada yang diinterogasi, dan lebih langsung.

Bandingkan dengan wawancara psikologis, dimana posisi antara pewawancara dan yang diwawancarai relatif sama. Kondisinya juga berbeda, karena tidak ada penekanan dan tidak ada penggunaan kekuasaan. Bahkan dalam kondisi ekstrim, calon karyawan yang diwawancarai tidak boleh menjawab, pewawancara tidak akan memaksa. Namun hal tersebut tentunya akan sangat mempengaruhi penilaian dalam mengambil keputusan seorang psikolog.

Wawancara dalam psikotes (psikotes) sebenarnya satu paket dengan tes tertulis. Tes ini bertujuan untuk menemukan orang yang cocok dan cocok, baik dari tingkat kecerdasan, maupun sifat dan kepribadiannya. Istilah kerennya mendapatkan "orang yang tepat di tempat yang tepat". Alasan lain mengapa diperlukan seleksi adalah adanya perbedaan potensi masing-masing individu. Perbedaan tersebut juga akan menentukan perbedaan pola pikir, perilaku, minat, dan pandangan terhadap sesuatu. Kondisi ini juga akan mempengaruhi hasil kerja. Bisa jadi suatu pekerjaan atau jabatan akan lebih berhasil jika dilakukan oleh individu yang memiliki bakat dan kemampuan yang dibutuhkan oleh persyaratan pekerjaan atau jabatan itu sendiri.

Ada beberapa tujuan khusus dari wawancara psikologi. Pertama, observasi. Dalam hal ini, calon karyawan dilihat dan dinilai. Mulai dari penampilan, sikap, cara menjawab pertanyaan, postur tubuh terutama untuk pekerjaan yang sangat membutuhkan, seperti tentara, polisi, satpam, dan pramugari. Penilaian juga menyangkut bobot jawaban dan kelancaran dalam menjawab.

Begitu juga dengan perilaku dan sikap yang akan muncul secara spontan ketika berada dalam situasi yang baru dan mungkin membuat stres. Misalnya mengedipkan mata atau memutar jari yang dilakukan secara tidak sadar. dari segi bobot jawaban, misalnya, calon dapat dinilai apakah memberikan jawaban yang dangkal atau tidak, atau bahkan berbelit-belit. Jawaban berupa “Mau naik pesawat” atau “Mau ke luar negeri” adalah contoh jawaban yang dianggap dangkal atas pertanyaan alasan menjadi pramugari. Sedangkan kefasihan dalam menjawab biasanya dinilai dari berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang calon karyawan untuk menjawab pertanyaan.

Dalam wawancara psikologi, yang sebenarnya dibutuhkan adalah jawaban spontan dan tidak mengada-ada. Misalnya, ketika ditanya alamat, katakan saja alamat kami. Tidak perlu menambah ekstra atau bahkan berpura-pura pintar. Tujuan selanjutnya dalam tes wawancara adalah menggali data yang tidak diperoleh dari tes tertulis. Misalnya istri bekerja, anak sekolah dimana, masih tinggal bersama orang tua atau tidak, serta apa judul skripsi dan berapa nilai yang didapat. Yang tidak kalah penting dalam mempengaruhi penilaian adalah kesesuaian data. Benarkah data yang ditulis calon tersebut?

Atas dasar itu, psikolog kerap mengajukan pertanyaan untuk menilai tingkat pemahaman dan kecerdasan calon. Misalnya, seorang calon mengaku memiliki gelar master di bidang pendidikan, kemudian diajukan pertanyaan sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Jika jawaban berkualitas rendah, maka dapat disimpulkan bahwa kandidat memiliki kecerdasan rendah atau dianggap tidak serius selama proses pendidikan.

Sering terjadi hasil tes tertulis bagus, tetapi hasil wawancaranya tidak meyakinkan. Hal ini bisa terjadi karena mungkin dia telah mengikuti beberapa tes psikologi atau pernah mengikuti tes psikologi. Tes ulang bisa menjadi alat untuk mengatasi keraguan itu.

Perhatikan juga cara berpakaian, sebaiknya sesuaikan dengan situasi dan suasana. Misalnya, dalam wawancara dengan calon pramugari, sebaiknya tidak memakai pakaian yang pantas dan tidak pantas, seperti celana panjang yang terbuat dari jeans. Atau gunakan sandal, meskipun sedang fashion.

Kerapian dan kesopanan berbusana juga diperhatikan. Misalnya, tidak mengenakan kemeja dengan lengan panjang dilipat, atau hanya mengenakan t-shirt, atau kemeja tidak diselipkan. Sikap juga memberikan nilai penting. Yang dimaksud dengan sikap adalah bagaimana karyawan dapat menempatkan diri pada posisi yang tepat. Yang terbaik adalah bersikap alami, tidak sombong, tetapi juga tidak tegang atau gugup. Selain itu, kesantunan biasanya dinilai menurut norma. Misalnya tidak terlihat menjilat, mengetuk pintu saat masuk kamar, atau jika belum dipersilahkan duduk, jangan duduk dulu. Dalam menjawab pertanyaan tanpa bertele-tele, langsung ke inti masalah. Maka jawablah dengan jujur, tidak perlu ditutup-tutupi. Misalnya, apakah Anda pernah melewatkan nilai atau gagal dalam ujian di perusahaan lain.

Selain itu, dalam menjawab tidak perlu menggurui, walaupun kandidat sudah memiliki pendidikan yang cukup tinggi, pengalaman yang cukup banyak, atau dari segi usia lebih tua dari pewawancara. Jangan juga menjawab dengan angkuh, misalnya mengaku sebagai atlet yang sudah keliling ke banyak negara dan punya banyak prestasi. Boleh bangga, tapi kalau hasil psikologi tulisannya tidak bagus, tetap tidak lulus. Tak kalah penting, tak perlu bertanya. Meski merasa optimis dengan hasil tes tertulis dan merasa bisa melakukannya, calon tidak perlu menanyakan hasilnya. Pada dasarnya wawancara juga merupakan tes sehingga hal ini akan mempengaruhi penilaian. Selain itu, situasi saat itu adalah situasi ujian, bukan konsultasi psikologis.

Juga pertimbangkan banyak kandidat lain yang menunggu. Pemahaman yang lebih baik tentang wawancara psikologis akan memudahkan kita untuk mempersiapkan jenis wawancara ini. Yang pasti, wawancara psikologis tidak perlu ditakuti dan tidak bisa dibohongi. Dalam konteks di atas, tidak mungkin seorang kandidat berbohong kepada psikolog. Ini juga berisiko jika dia tidak menjawab dengan benar. Kepribadiannya yang tidak jujur ​​bersifat terbuka, padahal kejujuran merupakan prasyarat penting bagi perusahaan.

Dalam wawancara untuk evaluasi atau promosi pegawai, biasanya semua data curriculum vitae (CV) dari instansi atau perusahaan sudah diberikan dari Bagian Personalia. Manfaat lain dari wawancara adalah untuk melengkapi data yang terlupakan atau tidak lengkap. Misalnya, apakah Anda pernah mengalami psikotes atau tidak. Jika demikian, berapa kali? Untuk apa? Lulus atau tidak? Mungkin juga bunga atau gaji yang diinginkan. Terakhir, manfaat wawancara adalah untuk membuat keputusan.

Dari hasil tes psikologi tertulis dan wawancara, diambil kesimpulan apakah kandidat ini memenuhi persyaratan seperti job description yang diberikan oleh perusahaan atau tidak.

Terkadang ada tes psikologi yang tidak menggunakan wawancara. Itu semua tergantung pada tujuan pemeriksaan, ketersediaan data yang mungkin lengkap, dan tidak terlalu membutuhkan penampilan atau postur tubuh. Misalnya, jika diperlukan operator komputer, yang penting bisa memiliki komputer dan memiliki kecerdasan yang memadai.

Posting Komentar

0 Komentar